Bertengkar Dengan Indah

Tanpa sengaja, saya membongkar arsip milis yang pernah saya ikuti sekitar 6-8 tahun yang lalu. Saya menemukan sebuah tulisan yang begitu menarik, tentang pertengkaran suami-istri. saya merasa, mungkin ini bisa menjadi referensi bagi kita bagaimana bertengkar yang indah itu. Saya sendiri, setelah lebih 3 tahun lebih (lebih 9hr pd hari ini 🙂 ) menikah memang yang namanya pertengkaran pasti sedikit banyak terjadi diantara saya dan istri, bahkan seringnya dikarenakan masalah-masalah sepele yang tragisnya sebenrnya tidak perlu diributkan, tapi ya namanya rumah tangga justru akan terasa hampa jika tidak ada keributan, yang perlu kita tanamkan adalah bagaimana membuat setiap pertengkaran tersebut menjadi indah dan memperkuat ikatan cinta kita terhadap pasangan bukan justru membuat keretakan…

Tulisan ini dari seorang teman bernama Sudarmawan Batara yang diposting dalam milis Air Putih tertanggal 15 Mei 2007. Mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi buat kita dalam bertengkar dengan istri/suami 😀

Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
BISMILLAHIRRAHMAANI RRAHIIM
Buat Yang Udah Nikah, Mau Nikah, Punya Niat Untuk Nikah
Sebarkan kepada orang2 yang anda kenal……. .mudah2an bermanfaat.
Bertengkar adalah phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: “Saya tidak pernah
bertengkar dengan isteri saya !” Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri, atau ia tengah berdusta.

Yang jelas kita perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya sajadihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi.

Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah,betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang
terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat
dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental,
lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.

Tulisan ini murni non politik, jadi tolong jangan tergesa-gesa
membacanya.

Bacalah dengan sabar, lalu renungi dengan baik, setelah
itu…terapkan dalam keseharian kita…….setuju ??

…..Suatu ketika seseorang berbincang dengan orang yang akan menjadi
teman hidupnya, dan salah satunya bertanya; apakah ia bersedia
berbagi masa depan dengannya,dan jawabannya tepat seperti yang
diharap.Mereka mulai membicarakan : seperti apa suasana rumah tangga
ke depan.Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus
dilakukan kala mereka bertengkar. Dari beberapa perbincangan hingga
waktu yang mematangkannya, tibalah mereka pada sebuah Memorandum of
Understanding, bahwa kalaupun harus bertengkar, maka :

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama’ah
Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim
sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama’ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata “STOP” ini giliran saya ! Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati : “kamu makin cantik kalau marah,makin
energik …”

Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh, telah
menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang
dikasihi… “duh kekasih .. bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu
menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu ….”
Demikian juga kalau pas kena giliran saya “yang olah raga otot muka”, saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya 🙂

Maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah.
pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama’ah, sebab ada
sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama’ah selain
marah 🙂

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa (maksudnya masa lalu kita)

Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab
masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah.

Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan
terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita
perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah,maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah “ungkapan rindu yang keras”. Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya, minggu lalu,awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.

Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula),
sepedas apapun saya marah,maka itu adalah “harapan ingin disayangi
lebih tinggi”. Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin
dan tiga hari lewat,plus tuduhan “Sudah tidak suka lagi ya dengan saya”, maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya.

Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah … OK, marahlah
tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini …..

3. Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga
Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan
ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40) .

Saya tidak akan terpantik marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi
kalau ibu saya diajak serta, jangan coba coba. Begitupun dia,
semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke
kancah “awal cinta yang panas ini”.

Kata ayah saya : “Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu
banyak”.

Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma’afnya dari
pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri saya..”. Dunia
sudah diambang pertempuran, tidak usyah ditambah tambah dengan memusuhi mertua!

4.Kalau marah jangan di depan anak-anak

Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan
kebencian.

Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka
harus menonton komedi liar rumah kita. Anak yang melihat orang tua
nya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana
ibunya. Membela ibu, tapi itu ‘kan bapak saya.

Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : “Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak,
dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!”
* Bapak : “Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda ????!!!!
* Anak : “…… Yaaa …ibu saya babu, bapak saya kuda …. terus
saya ini apa ?”

Kita harus berani berkata : “Hentikan pertengkaran !” ketika anak
datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan.
Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita ???

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat

Pada setiap tahiyyat dalam shalat kita berkata : “Assalaa-
mu ‘alaynaa wa ‘alaa’ibaadilahissh oliihiin” Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba hambamu yg sholeh ….
Nah andai setelah salam kita cemberut lagi, setelah salam kita tatap
isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustai Nya, padahal
nyawamu ditangan Nya.

OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti
lho itu janji dengan Ilahi …. Marahlah habis shubuh, tapi jangan
lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya … Atau habis isya sebatas….? ?? Nnngg .. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar … 🙂

6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema’afkan

Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah
“proses belajar untuk mencintai lebih intens” Ternyata ada yang masih
setia dengan kita walau telah kita maki-maki.

Ini saja, semoga bermanfa’at, “Dengan ucapan syahadat itu berarti
kita menyatakan diri untuk bersedia dibatasi”.

*Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia
pintar tapi bodoh*

2 thoughts on “Bertengkar Dengan Indah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *